Selasa, 28 Januari 2014

Apa Sih Konsep IQ - EQ - SQ Itu Sebenarnya ?

Udah jadi dambaan tiap ortu kalo anaknya itu bakal jadi anak yang pinter, cerdas dan berbudi pekerti luhur (sedaapp). Pasti lo sering ngalamin deh, didoain, diharepin, dipaksa, bahkan diomelin sama ortu cuma biar lo jadi pinter. Oleh karena itu, pasti lo ga asing dong sama singkatan IQ, yg merupakan singkatan dari Intelligence Quotient atau nilai kecerdasan seseorang. Belom juga ngerti tentang apa itu IQ, eeh udah ada lagi yang namanya EQ (Emotional Quotient), dan tiba-tiba muncul lagi istilah SQ (Spiritual Quotient). Sebenernya apaan sih itu? Emang bener yah kecerdasan emosional dan spiritual orang bisa dikuantifikasi?
Belom juga udah ngerti masing-masing istilah IQ, EQ, SQ itu apa, eeh tiba-tiba kita udah disuruh buat tes IQ lah, test EQ, belajar dan ikut program ini-itu, demi meningkatkan nilai IQ, EQ, dan SQ kita. Naah, sebelom kita capek-capek belajar dan muter otak sampe jungkir balik segala macem demi ningkatin apa yang sebenernya kita belum paham. Naah blog zenius kali ini bakal seru banget karena gue bakal kasih tau elo selengk apa itu konsep IQ, EQ,  dan SQ yang sebenernya. Oke kita langsung aja deh nih ngomongin yang pertama.

IQ - Intelligence Quotient

Excel_IQ_EwB_Chart
IQ atau nilai kecerdasan seseorang. Nah yang ini nih sebenernya konsep yang udah ada sejak akhir abad 19, kira-kira di tahun 1890-an, yang pertama kali dipikirin oleh Francis Galton (sepupunya Charles Darwin, Bapak Evolusi). Berlandaskan dari teori sepupunya mengenai konsep survival dari individu dalam suatu spesies, yang disebabkan oleh “keunggulan” sifat-sifat tertentu dari individu yang diturunkan dari orangtua masing-masing, Galton menyusun sebuah tes yang rencananya mengukur intelegensi dari aspek kegesitan dan refleks otot-otot dari manusia. Baru pas awal abad 20, Alfred Binet (dibaca: Biney), psikolog dari Perancis, ngembangin alat ukur intelegensi manusia yang mulai kepake sama orang-orang. Dari alat ukur ciptaan Binet ini akhirnya berkembang deh alat-alat ukur IQ sampe yang kita kenal dan pake sekarang.
Gara-gara orang mulai sadar sama pentingnya intelegensi dan pengetesannya, mulai deh tuh, para ahli psikologi neliti dan bikin hipotesis tentang kecerdasan. Banyak banget deh yang akhirnya muncul dengan pendapat yang berbeda-beda, masing-masing dengan bukti yang dianggap kuat oleh masing-masing pihak. Ada yang menganggap bahwa kecerdasan adalah konsep tunggal yang dinamakan faktor G (general intelligence). Ada juga yang menganggap kecerdasan itu pada intinya terbagi jadi dua macam set kemampuan, yaitu fluid (Gf) dan crystallized (Gc). Berbagai macam pengetesan kecerdasan dibikin ngacu ke pandangan-pandangan ini sepanjang abad ke 20. Tapi yang lagi ngetrend sekarang tuh yang namanya multiple intelligence, atau kecerdasan berganda yang dicetuskan oleh Howard Gardner di tahun 1983. Gardner nyebutin bahwa kecerdasan manusia bukan merupakan sebuah konsep tunggal atau bersifat umum, namun merupakan set-set kemampuan yang spesifik dan berjumlah lebih dari satu, yang semuanya merupakan fungsi dari bagian-bagian dari otak yang terpisah, serta merupakan hasil dari evolusi manusia selama jutaan tahun.
Gardner awalnya membagi kecerdasan manusia menjadi delapan kategori yaitu:
  1. (a) Music-rhythmic & Harmonic,
  2. (b)Visual-spatial,
  3. (c) Verbal-linguistic,
  4. (d) Logical mathematical,
  5. (e) Bodily-kinesthetic,
  6. (f) Intrapersonal,
  7. (g) Interpersonal,
  8. (h) Naturalistic.
Masing-masing lengkapnya kayak apa mending elo google aja deh, kepanjangan men. Intinya lo bisa tangkep lah dengan gampang kalo liat istilahnya aja. Nah, seiring berjalannya waktu, akhirnya Gardner nambahin lagi aspek kecerdasan kesembilan, yaitu (i) Existential - yang mencakup sisi spiritual dan transendental. Walaupun populer, teori ini mendapat banyak kritik karena kurangnya bukti empiris.
Nah, oleh karena itu, sampe sekarang para ahli belom sepakat dalam ngasih definisi apa itu kecerdasan, diukur pake alat apa, serta apa arti dari skor kecerdasan seseorang. Makanya, sekarang tuh para praktisi ilmu psikologi, pendidik, sekolah, dan beberapa negara maju udah ga make lagi tuh istilah “tes IQ”. Alih-alih mereka bilangnya test tertentu kaya “tes kemampuan akademik”, “tes kecerdasan verbal”, dan sebagainya.
Masalahnya, di Indonesia nih masih umum banget istilah IQ. Ga jarang juga kan kita denger pertanyaan: “IQ lo berapa?”, “Gimana men besok tes IQ, udah siap?”, “Itu butuh IQ berapa sih biar bisa keterima di sekolah/kelompok itu?”, dan sebagainya. Lewat tulisan ini, gue rada pingin nyuarain juga nih ke elo-elo pada, bahwa banyak banget pengetesan yang sebenernya ga ngukur kecerdasan umum, tapi ngakunya sebagai tes IQ. Harus ati-ati deh buat nyikapinnya. Ini bukan berarti yang namanya IQ atau kecerdasan umum itu ga ada yeh. IQ itu ada, tapi yang bermasalah itu alat ukurnya biasanya gak akurat. Jadi biarin deh urusan begituan diserahin dulu ke para ahli bidang yang bersangkutan.
Balik lagi nih ke pandangan umum masyarakat tentang konsep “kecerdasan umum” atau yang dikenal sebagai IQ tadi. IQ gue tinggi, terus? IQ gue jongkok, terus? Kalo nilai skor tes gue jeblok, apa berarti gue orang bego, gitu? Nah, pertanyaan-pertanyaan ini nih ga bisa dijawab dengan jawaban yang simpel kayak: “Iya ya ternyata gue bego karena IQ gue rendah”, atau sebaliknya. Yang namanya bego, itu ga cuma gara-agara IQ lo rendah doang, atau cerdas karena IQ lo tinggi. Gini misalnya, lo punya skor IQ tinggi trus pada suatu kesempatan lo lagi bawa motor. Karena pingin cepet-cepet sampe, lo ambil jalan yang berlawanan arus. Trus gara-gara ini, lo jadi didamprat orang yang lagi jalan kaki di jalur yang semestinya. Trus akhirnya lo dibilang “ah tolol luh!” (maapin kata-kata gue kalo rada kasar, gue cuma mau bikin ini lebih realistis aja). Masuk akal juga kan kalo lo didamprat kaya gitu, padahal skor IQ lo tinggi.
Kasus di atas bikin suatu kesan buat kalangan umum non akademik buat berpikir bahwa kemampuan pikiran belum tentu membuat lo jadi terlihat cerdas dan adaptif dalam bertingkah laku. Padahal kan tadi di atas disebutin bahwa kecerdasan itu pada intinya adalah kemampuan yang membuat manusia adaptif sebagai individu. Pandangan-pandangan umum yang kayak gini yang akhirnya membuat para ilmuwan kejiwaan ngembangin sebuah konsep terpisah yang dinamakan..

 Emotional Quotient  Intelligence

emotional-intelligence
Lah kok, jadi beda istilah?! Tadi di atas bilangnya emotional quotient (EQ) kok sekarang jadi Emotional Intelligence (IE)? Sebenernya sih sama, tapi emang udah jelas banget sih kalo istilah EQ (yg arti harafiahnya itu “hasil pembagian dari emosi") itu salah. Lebih tepat digunakan kecerdasan emosional buat jelasin konsep yang dimaksud. Makanya akhirnya para ahli lebih milih istilah emotional intelligent (EI). Ngerti ga sampe sini men?
Nah kalo sampe poin ini lo udah bisa pahamin, kita lanjut bahas soal apa yg orang-orang bilang soal EQ (atau EI). Sering banget kita denger orang-orang awam suka ngomong “percuma IQ tinggi tapi EQ jeblok” atau semacamnya. Sering kan? EQ pertama kali dikonsepin oleh Keith Beasley pada tulisannya pada artikel Mensa pada tahun 1987. Tapi, istilah ini baru bener-bener mendunia (dan udah ganti jadi EI) setelah Daniel Goleman pada bukunya “Emotional Intelligence – Why it can matter more than IQ” yang terbit pada tahun 1995. Walaupun buku ini dianggap bukan sebagai buku akademik, tapi konsep EI yang disusun oleh Goleman bikin para ahli psikologi rame-rame bikin penelitian tentang hal ini.
Kecerdasan Emosional, pada intinya adalah kemampuan kita buat ngidentifikasi, ngukur, dan ngontrol emosi diri sendiri, orang sekitar, dan kelompok. Para peneliti EI punya posisi bahwa EI lebih penting daripada sekadar kecerdasan kognitif. Goleman sendiri membagi kemampuan-kemampuan emosional menjadi lima kemampuan:
  1. (a) kesadaran diri,
  2. (b) kontrol diri,
  3. (c) kemampuan social,
  4. (d) empati,
  5. (e) motivasi.
Goleman berpendapat bahwa tanpa kelima kemampuan ini, orang yang memiliki IQ tinggi bakal kehambat dalam kegiatan akademik serta pekerjaan.
Walaupun laku keras di kalangan umum, banyak ilmuwan dan praktisi psikologis yang tetep skeptis sama kecerdasan emosional. Yang paling mereka kritik adalah pengetesannya. Ilmuwan harus bekerja berdasarkan bukti. Jika seorang ilmuwan di bidang apapun bikin suatu hipotesis, harus didukung sama pengukuran yang akurat. Nah, para ahli psikologi ngekritik EI karena alat ukurnya ga valid (valid ini maksudnya ga ngukur apa yang harusnya diukur). Alat-alat tes EI itu kebanyakan soalnya berupa pilihan-pilihan jawaban yang bisa aja orang yg ngisi ngibul pas ngejawabnya. Makanya para ahli kurang bisa nerima hasil pengukuran EI. Belom kelar masalah EI, eh tiba-tiba ada lagi yang ngusulin sebuah konsep kecerdasan baru yang dinamain..

Spiritual Quotient Intelligence 

Spiritual Intelligence (SI) atau kecerdasan spiritual. Pertama kali dikonsepin sama psikolog yang bernama Danah Zohar, pada tahun 1997. Konsep ini dapat dibilang baru dalam dunia psikologi, karena emang konsepnya aja belom dianggep matang. Banyaaaak banget kritik soal konsep SI ini bahkan bukan soal pengukurannya atau nilainya, tapi soal konsep dasarnya. SI ini dibuat oleh Zohar untuk mengukur kemampuan seseorang dalam memaknai kehidupannya, jadi  ga ada hubungannya dengan agama ataupun kerohanian dalam konsep awam.
Kemampuan-kemampuan yang menurut Zohar tergabung dalam konsep SI antara lain: Spontanitas, visioner, rasa kemanusiaan, kemampuan untuk bertanya hal-hal yang bersifat mendalam seperti “siapakah saya dalam dunia ini?”, kemampuan untuk menerima perbedaan, dan sebagainya. Nah lagi-lagi, selain konsepnya yang belom mateng, alat ukurnya lebih ngaco lagi, kalo menurut ahli-ahli ilmu psikologi. Alat ukurnya lebih bisa bikin yang ngisi ngibul soal kondisinya, yang akhirnya bikin skor tesnya jadi tinggi-tinggi deh. Susah kan ngukurnya kalo kaya gini!?
Seperti biasa, dunia bisnis berkembang jauuuuh lebih cepet daripada dunia ilmu pengetahuan. Kalo ada konsep-konsep yang menarik dan “laku dijual”, para pelaku bisnis pasti cepet tanggep makenya padahal belom yakin itu konsep udah mateng atau belom. Kalo dalam ilmu lain, fisika kimia misalnya, kalo ada penemuan yang belom mateng terus udah laku di pasaran, resikonya kan jelas lah yaa, meledak lah, beracun lah, bikin mati sekampung lah.
Nah kalo dalam ilmu psikologi, dampak-dampak itu gak keliatan langsung, tapi sebenernya bakal ujung-ujungnya kerasa dampaknya. Contohnya gini deh, konsep EI dan SI belom mateng, alatnya belom valid, tapi udah dipake buat nyeleksi manajer di satu perusahaan. Dari hasil tes dibilang bahwa si calon X punya kecerdasan emosional dan spiritual yg tinggi, tapi tesnya ga valid. Walhasil taunya si manajer ga bekerja sesuai yang diharepin. Akhirnya, sayang kan duit yang dipake buat seleksi dan gaji si manajer X.
Maka dari itulah, semua yang kira-kira punya embel-embel “quotient” nya atau “kecerdasan” ini itu emang kedengeran seksi di kuping kita. Yang namanya ortu itu pingin anaknya cerdas, berpekerti luhur, spiritual, dsb. Udah keniscayaan itu sih. Tapi, kita sebagai kaum terpelajar yang harus berpikir kritis, jangan lah cepet-cepet percaya sama apapun yang dibilang sama orang lain. Telusurin sendiri sebelom rugi. Di Indonesia nih misalnya, udah jelas konsep EI belom jelas alat ukurnya, pelatihan-pelatihan dan pengukuran EI udah menjamur di mana-mana. Pake alat apa juga ga peduli deh yang penting laku.
Terus, Danah Zohar di atas kan udah bilang kalo SI ga ada hubungannya dengan agama, tapi pelatihan-pelatihannya banyaaaaaaak banget (ini beneran banyak banget yeh, se Indonesia). Kebayang ga kalo ternyata konsepnya ga mateng dan itu pelatihan malah bikin kita jadi cerdas secara spiritual, tapi malah misalnya jadi takut sama kehidupan, ngerasa banyak dosa, dsb. Ga nyambung dong sama yang dikonsepin sama Danah Zohar?  Ya gak !?

Nah pesen moral dari tulisan ini cuma singkat: Sebagai kaum terpelajar, kita harus telusurin dulu sebelum percaya apapun, terutama kalo itu bisa bikin kita rugi baik secara finansial maupun psikologis.

0 komentar:

Posting Komentar